Sabtu, 09 Mei 2009

SEJARAH GERAKAN WANITA INDONESIA (GERWANI)

Sejarah gerakan perempuan di Indonesia telah melewati perjalanan yang sangat panjang. Jauh sebelum Indonesia merdeka, telah banyak muncul tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi perempuan. Organisasi tersebut dibangun demi kepentingan kaum perempuan, untuk memperjuangkan posisi perempuan di dalam perkawinan dan kehidupan keluarga, mempertinggi kecakapan dan pemahaman ibu sebagai pemegang dan yang menentukan jalannya rumah tangga dalam suatu keluarga (Hikmah Diniah, 2007:2).

Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani adalah merupakan organisasi wanita yang aktif di Indonesia pada tahun 1950-an dan 1960-an. Kelompok ini memiliki hubungan yang kuat dengan Partai Komunis Indonesia, namun sebenarnya merupakan organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah sosialisme dan feminisme.

Gerakan ini lahir karena rasa tidak puas dengan organisasi-organisasi perempuan yang ada seperti Perwari, Wanita Sosialis,Wanita Demokrat, Aisyah, Muslimat NU dan sebagainya. Rasa tidak puas ini disebabkan beberapa faktor. (1) Kebanyakan organisasi perempuan gerakanya terbatas pada soal-soal kewanitaan, ringan, monoton, tanpa resiko. (2) Hampir semua mempunyai program pendidikan, mendirikan sekolah-sekolah umum. (3) Mengenai hak-hak perempuan, tidak tergerak untuk membela perempuan dalam kejadian sehari-hari, seperti kasus-kasus pemerkosaan, poligami, dan perkawinan anak-anak. (4) Tidak pernah ada aksi atau gerakan yang bersifat nasional secara bersama-sama. (5) Tidak mau membicarakan, apalagi mengadakan aksi menentang ijon di desa-desa, lintah darat, dan banyak problem kehidupan di desa dalam kehidupan wanita buruh tani yang sangat miskin.

Para tokoh perempuan yang menjadi pelopor berdirinya Gerwis mempunyai latar belakang sosial yang berbeda-beda, tetapi semuanya sama-sama telah terjun di tengah pergerakan nasional. S.K. Trimurti misalnya ia adalah tokoh Gerwis yang sudah terlibat dalam perpolitikan nasional, selain itu ia merupakan seoran Menteri Perburuhan RI yang pertama.

Tujuan awal dari organisasi ini adalah untuk berjuang dan mendekati perempuan miskin. Akan tetapi, pada kenyataanya pemimpin Gerwis tidak turun ke massa perempuan sehingga timbul sikap tidak ingin bekerja sama dengan organisasi-organisasi massa lainya, dan dengan kekuatan dari massa rakyat. Dampaknya pada saat Gerwis mengadakan Kongres Nasional I pada Desember 1951, anggotanya tidak lebih dari 6.000 orang.

Pada awal berdirinya Gerwis, unsur-unsur komunis sudah terlihat sangat jelas akan menjadi bagian terkuat dalam pembangunan organisasi ini. Hal ini tercermin dari keberadaan tokoh-tokoh Gerwis yang sebagian besar merupakan anggota keluarga komunis sehingga hubungan antara Gerwani dan PKI semakin kuat. Dalam hal ini, PKI hanya memperhatikan dua pokok masalah yang ada pada organisasi Gerwani yaitu tentang masalah “femisnis” dan penghapusan IGO/B.

Gerwani dianggap oleh Orde Baru sebagai salah satu organisasi yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September, dan dalam film Pengkhianatan G 30 S/PKI karya Arifin C Noer digambarkan menyiksa jendral-jendral yang ditangkap sebelum mereka dibunuh di Lubang Buaya. Selain itu juga digambarkan adegan-adegan di mana anggota-anggota Gerwani menari telanjang, memotong alat kelamin tawanan mereka dan melakukan perbuatan amoral lainnya.

Pada kenyataannya, sukarelawati sedang melakukan latihan tari-tarian dan kesenian untuk pertunjukan pada acara ASEAN Games di Halim. Bukan hanya Gerwani, tetapi juga perempuan dan pemudi dari organisasi lain yang tergabung dalam anggota fron nasional. Seperti Perwari, Wanita Marhaen, Wanita Islam, Aisyah, dan Muslimat. Akan tetapi, saat pembunuhan itu terjadi memang kebetulan yang ada di situ adalah sebagian besar dari Pemuda Rakyat, selebihnya adalah beberapa orang anggota Gerwani, SOBSI dan BTI termasuk juga dari ada beberapa istri prajurit Cakrabirawa yang dikumpulkan di Lubang Buaya pada hari itu.

Merupakan cerita dari salah satu istri prajurit Cakrabirawa:

“beberapa hari sebelum kup, saya dijemput dan menjadi sukarelawan di Halim. Sampai di sana saya diminta menjahit pita warna-warni pada pakaian-pakaian seragam, sebagai pembeda antara kawan dan lawan. Pekerjaan itu banyak sekali sehingga kami mengerjakannya sampai larut malam, sampai kami terbangun oleh bunyi tembakan-tembakan. Di luar masih gelap dan kami lari ke lapangan, di sana kami melihat beberapa tentara menggiring jenderal-jenderal itu. Jenderal-jenderal itu dipukuli dan akhirnya ditembak mati dan dimasukkan ke dalam sumur. Begitu marah para tentara itu sehingga peluru dihamburkan ke tubuh korban, walaupun mereka sudah mati. Kemudian dengan ketakutan baru kami pergi ke sumur. Saya tidak tahu harus berbuat apa, sesudah tentara itu pergi. Akhirnya, beberapa di antara kami pergi ke kantor Gerwani, ada yang lari pulang dan menyembunyikan seragam mereka. Belakangan mereka menyiarkan cerita-cerita tentang tarian-tarian, perbuatan seks yang tidak normal, memotong kemaluan. Semua itu bohong. Jenderal-jenderal itu ketakutan sehingga berdiri saja tidak bisa. Pemudi-pemidi sukarelawan itu juga ketakutan. Mereka bersembunyi berdesak-desakan di sudut karena takut”.

Dari cerita di atas dapat disimpulkan bahwa Gerwani dan sukarelawati yang ada di Lubang Buaya pada saat itu tidak pernah melakukan apa-apa dalam peristiwa tersebut, seperti dituduhkan oleh rezim Soeharto dan militernya (Hikmah Diniah, 2007: 179-180).

Tidak ada komentar: